Karena Wanita - Ingin Dimengerti
Masih Adakah Cinta is a Indonesian song released in 2006
Mystery Of Musical20094:08
Mystery Of Musical20094:08
January 18, 2021 1 Song, 5 minutes ℗ 2020 Musicblast.id
0%0% menganggap dokumen ini bermanfaat, Tandai dokumen ini sebagai bermanfaat
0%0% menganggap dokumen ini tidak bermanfaat, Tandai dokumen ini sebagai tidak bermanfaat
Album No.1 Jamal Mirdad19985:05
198710 songs, 50 min 24 sec
Chord Kunci Gitar dan Lirik Lagu Masih Adakah - Wali
Am F G Am Am FMengapa mengapa oh mengapaG AmAku harus rasakan ini semuaAm FDi saat yang lain tertawa bahagiaG C EAku hanya bisa menangis berduka Am EmMasih adakah, adakah yang bisa F C GBisa menerima aku oh apa adanya Am EmMasih adakah, adakah di sana F C GBisa menerima aku setulus hatinya Am FKu akui aku tidak sempurnaG AmAku sadari aku orang biasaAm FTapi apakah salah bila ku jugaG C EIngin dan ingin merasakan bahagia Am EmMasih adakah, adakah yang bisa F C GBisa menerima aku oh apa adanya Am EmMasih adakah, adakah di sana F C GBisa menerima aku setulus hatinya Am F GAm F GE Am EmMasih adakah, adakah yang bisa F C GBisa menerima aku oh apa adanya Am EmMasih adakah, adakah di sana F C GBisa menerima aku setulus hatinya
Baca juga: Chord Kunci Gitar dan Lirik Lagu Salam Sejahtera - Samudera : Pertama dan Kaulah Selamanya
Baca juga: Chord Kunci Gitar dan Lirik Lagu Bahagia Itu Sederhana - Leeyonk Sinatra : Bahagia Bahagia Bahagia
MASIH ADAKAH MAKNA 39
Wanita yang memungut uang Rohana, jatuh terjengkang. Rohana marah bukan alang kepalang.
“Lisa! Apa yang kamu lakukan?”
“Bodoh kamu Rohana! Uangmu berserakan dan si miskin itu memungutinya. Apa karena uangmu terlalu banyak sehingga membiarkan dia mencurinya?”
“Saya tidak mencuri. Saya hanya membantu,” kata wanita itu sambil bangkit.
Rohana segera tahu, dialah wanita yang dicarinya.
Ia menerima uang yang tadinya diambilkan wanita itu, dan membantunya berdiri.
“Apa yang membuatmu berubah Rohana? Kamu sudah tidak sekaya dulu, dan pura-pura menjadi wanita baik?”
Rohana menggandeng wanita itu dan mengajaknya masuk ke arah ruangan yang tidak berkelas.
Lisa mencibir sambil membalikkan badannya, tapi ia tak sadar, seorang perawat sedang mendorong seperangkat peralatan yang sebagian besar terbuat dari kaca. Lisa jatuh tertelungkup, dan sebatang pecahan bejana kaca menancap di sebelah matanya.
Jeritannya terdengar bagaikan lolongan yang membelah suasana tenang di pagi itu. Rohana menoleh dan terbelalak. Ia melihat beberapa perawat mengangkat Lisa yang wajahnya bercucuran darah.
“Lisa! Apa yang terjadi?”
Walau kesal, tapi rasa iba memenuhi hati Rohana. Wajah Lisa berlumuran darah, dan perawat langsung mengangkatnya ke atas brankar, melarikannya ke UGD.
“Ya Tuhan, sebiji mata Lisa tak sebanding dengan seluruh harta yang dimilikinya. Mengapa dia bisa sesombong itu? Semoga dia baik-baik saja,” gumamnya sedih.
“Kenapa Bu?” tanya wanita yang tadi digandeng Rohana.
“Entah bagaimana, aku juga tak melihatnya, sepertinya dia menabrak dorongan itu,” kata Rohana yang melihat beberapa petugas membersihkan beberapa perangkat alat kesehatan yang berantakan dan pecah.
“Sebenarnya saya mau membeli obat lagi,” kata wanita itu.
“Oh ya? Bagaimana keadaan anakmu?”
“Sudah tidak seperti kemarin. Tapi masih belum mau makan. Katanya perutnya sakit.”
“Berapa harga obatnya?”
“Entahlah, saya baru mau ke apotek.”
“Oh, baiklah, ayo ke apotek. Uangnya masih ada?”
“Ada, semoga cukup. Terima kasih telah membantu menyambung nyawa anakku,” kata wanita itu haru.
“Berterima kasihlah kepada Allah, aku tidak melakukan apa-apa. Semua karena Allah.”
Wanita itu mengangguk. Kata-kata ‘karena Allah’ itu menusuk nuraninya. Apakah selama ini dia mengenal Allah? Matanya berkaca-kaca. Karena ia tak mengenalNya, maka hidupnya terasa sengsara?
“Katakan kepadaku, bagaimana mengenal Allah.”
“Ia begitu dekat denganmu, tapi kamu tidak mengenalnya?” kata Rohana yang entah darimana datangnya bisa mengucapkan kata-kata seperti itu. Barangkali karena dia juga lama sekali melupakan Junjungannya, lalu ketika kemudian mengenalnya, maka ia bisa mengatakannya kepada orang lain. Bukankah ia menemukan ketenangan saat bersujud, saat memohon ampun dan petunjukNya, saat menangis menyesali semua perbuatannya?
“Pergilah ke apotek, setelah itu marilah kita menemuiNya dalam sujud dan penyesalan atas semua dosa kita.”
Wanita itu beranjak ke apotek, dan Rohana pergi keluar. Ia membeli beberapa potong pakaian orang dewasa, beberapa jilbab, dan beberapa pakaian anak kecil seumur tiga tahunan, juga handuk, sabun dan alat pembersih yang lain. lalu ia kembali masuk ke rumah sakit. Ketika melewati ruang UGD, ia mendengar suara jeritan. Hatinya sangat miris. Lisa sedang ditangani, dan menjerit-jerit kesakitan.
Rohana merasa tak bisa berbuat apa-apa. Ia melihat pembantu Lisa sudah duduk di ruang tunggu dengan gelisah.
Ia menanyakan keadaan LIsa, tapi mana mungkin pembantu itu bisa menjawabnya? Ia hanya menunggu, dan pastinya sudah mengabari keluarganya.
“Semoga Lisa baik-baik saja,” bisiknya tulus.
Rohana menuju ke arah apotek. Wanita yang belum diketahui siapa namanya itu duduk di sana. Rohana mendekat dan memberikan bungkusan yang dibawanya.
“Kamu mandilah, dan ganti pakaian kamu. Ini ada juga pakaian untuk anakmu.”
Tangan wanita itu gemetar menerimanya.
“Kamu benar-benar seperti malaikat,” bisiknya pelan sambil matanya berkaca-kaca.
“Ssssh, sudahlah. Oh ya, berapa harga obatnya?”
“Hanya tujuh puluh ribu. Katanya obatnya berupa infus. Perawat di ruangan Bejo mengatakan bahwa akan ada tagihan ruang rawat juga. Setelah ini aku akan pergi untuk mencari uang. Bejo sedang tidur.”
Jadi anak kecil itu namanya Bejo?
“Kalau ibu namanya siapa? Saya nenek Rohana.”
“Oh, iya. Saya sudah menerima banyak kebaikan dari Nenek, tapi belum memperkenalkan diri. Saya Kartinah. Suami saya sudah meninggal ketika Bejo masih bayi.”
“Kamu tahu? Meminta-minta bukan perbuatan yang bagus.”
“Lalu saya harus bagaimana? Saya orang miskin, bisanya hanya meminta. Tempat tinggalpun tak mampu menyewanya."
“Lakukan sesuatu. Misalnya berjualan.”
“Jualan apa? Harus ada modal untuk itu.”
“Setelah anakmu sembuh, carilah tempat untuk beristirahat, menyewa yang murah misalnya, lalu berjualanlah. Kamu bisa membuat gorengan, atau memasak masakan yang bisa dijual, atau apa, pikirkanlah mana yang bisa kamu lakukan.”
Kartinah menggenggam tangan Rohana sangat erat.
“Nanti aku bantu kamu mencari rumah sewa, aku yang membayar untuk setengah tahun ke depan, lalu aku berikan kamu modal beberapa, lalu kamu sisihkan uang untuk sewa berikutnya, sambil terus berjualan. Niatkanlah usaha itu untuk sesuatu yang berguna. Semoga kamu berhasil.”
“Nenek,” haru hati Kartinah tak tertahankan.
Ketika petugas apotek memanggil nama Bejo, ia berdiri sambil mengusap lagi air matanya.
Kartinah sudah kembali ke ruang anaknya, tapi Rohana masih mampir lagi ke depan ruang UGD. Pembantu Lisa kelihatan masih saja gelisah. Keluarganya sudah ada yang datang, katanya sedang menemui dokter. Tapi pembantu itu sedih, pembicaraan yang didengar, sebelah mata Lisa tak bisa diselamatkan. Rohana terpana mendengarnya. Berarti Lisa akan menjadi buta? Ia kesal terhadap temannya yang satu ini, tapi mendengar sebelah matanya kemungkinan menjadi buta, hatinya sedih bukan alang kepalang. Apa yang dipikirkannya benar bukan? Sebelah mata tak sebanding dengan harta yang dimilikinya. Kalau harus memilih, mana yang akan dipilih, memiliki mata yang utuh, atau harta yang berlimpah ruah?
Tak ada seorangpun memilih harta, karena perlengkapan tubuh yang diberikan oleh Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Murah, bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan semua harta yang ada di dunia ini. Allah Maha Besar.
Rohana pulang dengan perasaan murung.
Ketika ia hampir sampai di pintu keluar, sebuah mobil berhenti. Kaca depan mobil itu terbuka, dan Rohana melihat Boy ada di dalamnya.
Boy memarkirkan mobilnya, lalu ia mendekati sang nenek.
“Nenek dari membezoek kakek?”
Rohana menggelengkan kepalanya. Ia tahu sang nenek bukannya benci kepada kakeknya, tapi selalu merasa sungkan setiap kali berdekatan dengannya. Jadi kalau ingin membezoek kakeknya, pastilah kalau sedang bersama anak-anak atau cucunya.
“Membezoek seseorang.”
"Nenek jangan pulang sendiri, nanti Boy antarkan. Tapi sekarang Boy mau mengirimkan makanan pesanan kakek.”
Tak ada alasan untuk menolaknya, kecuali mengangguk.
“Nenek harus punya ponsel, nanti Boy belikan.” kata Boy sambil berjalan ke arah dalam, dimana kakeknya dirawat.
“Supaya gampang kalau kita mau menghubungi Nenek.”
“Nenek kan sudah bilang kalau ada keperluan, mengapa harus dihubungi? Apa kalian takut nenek akan pergi dan tak akan kembali?”
“Bukan begitu Nek. Terkadang ada berita yang nenek harus mengetahuinya. Misalnya ada yang mencari Nenek.”
“Nenek kan tidak punya teman. Kalaupun ada, hanya teman yang pasti akan merendahkan nenek dengan keadaan ini.”
“Tapi Nenek bukan orang rendah. Nenek adalah setinggi-tingginya wanita yang Boy junjung dan cintai.”
“Jangan, nanti nenek jatuh.”
“Sudah, diamlah. Jangan bicara yang aneh-aneh. Biasa saja,” katanya dengan mulut cemberut.
Tapi ketika ia memasuki ruangan rawat pak Drajat, cemberut itu hilang karena pak Drajat menyapanya dengan ramah.
“Rohana? Kamu baik-baik saja?”
“Ya. Aku baik. Semoga keadaanmu juga lebih baik.”
“Tentu saja, aku sudah mau minta pulang.”
“Kakek, jangan tergesa pulang. Nanti kalau dokter sudah bilang oke, baru Kakek boleh pulang.”
“Dokter itu selalu mengatakan tunggu … tunggu … memangnya aku kenapa? Aku merasa baik. Sebal sekali tanganku diikat dengan segala macam infus itu.”
“Ya sudah, nanti Boy tanyakan pada dokter, apa Kakek sudah sehat atau belum.”
“Tanya bukan kepada dokter, tapi kepada kakek ini, kan kakek yang merasakannya.”
Rohana menahan senyumnya. Pak Drajat memang keras kepala. Ia sukar diatur, tapi sangat tegas. Itu pula sebabnya ia sangat marah ketika melihat dirinya sedang mendekati pak Ratman ketika terlibat hutang.
“Ini masakan ibu Minar. Baru saja Boy ambil di rumahnya.”
“Iya, aku memesan sup ayam dari dia. Aku ingin makan sekarang. Masih hangatkah?”
“Masih agak panas. Boy ambilkan dulu di mangkuk.”
Rohana undur ke belakang, duduk di sofa, agak jauh dari tempat pak Drajat berbaring. Sungkan menunggui bekas suaminya makan. Takutnya Boy meminta Rohana menyuapinya. Aneh kan?
“Minar selalu memasak enak. Tapi ibumu juga masakannya luar biasa enak. Hanya saja aku terkesan ketika kemarin dia membawakan sup ayam, jadi aku ingin memakannya lagi.”
“Iya, ibu Minar tidak lupa, karenanya pagi tadi Boy ditelponnya.”
“Bagaimana rencana pernikahan kalian?”
“Kakek harus sembuh dulu, baru bicara tentang pernikahan Boy.”
“Karena itulah aku ingin segera pulang.”
“Tidak tergesa-gesa, Kakek. Semuanya sudah disiapkan, tinggal menunggu Kakek sembuh.”
“Benar? Kamu tidak kekurangan uang?”
“Tentu saja tidak. Kakek tidak usah memikirkannya.”
“Apa nenekmu itu tinggal di rumahmu?” kali ini pak Drajat bicara pelan.
“Iya. Kakek keberatan?”
Pak Drajat menggoyang-goyangkan tangannya, karena mulutnya sedang mengunyah gurihnya daging ayam yang baru saja disuapkan cucunya.
"Ada pavilyun yang tidak terpakai. Buat lebih pantas agar dia bisa tinggal lebih nyaman dan bisa melakukan apa yang dia inginkan,” katanya, masih dengan sepelan mungkin.
“Baik, Kakek. Terima kasih atas kebaikan Kakek.”
“Mengapa harus berterima kasih?” kali ini suaranya lebih keras.
“Sudah, aku sudah kenyang. Buat nanti lagi,” katanya sambil meraih tissue untuk mengelap mulutnya. Boy mengambilkan minum dan pak Drajat menyedotnya dengan rasa puas.
“Sekarang kalian pulanglah, sebentar lagi Ratman akan datang dan menemani kakek ngobrol."
“Bukankah kakek belum boleh bicara banyak?”
“Apa maksudmu? Bagaimana kalau kemudian aku lupa cara orang berbicara?”
Boy tergelak. Sang kakek selalu bicara sembarangan, dan terkadang lucu. Tapi ia senang, sang kakek sudah tidak sepucat kemarin.
Boy mengantarkan nenek Rohana. Ia mampir ke toko ponsel, lalu memaksa sang nenek untuk menerima ponsel itu, membuat Rohana bersungut-sungut sampai kemudian memasuki rumah Tomy.
Monik yang melayani makan sang ibu mertua, hanya tersenyum ketika mendengarnya mengomel tentang ponsel itu.
“Bu, itu kan penting, untuk berkomunikasi.”
“Seperti orang penting saja. Aku biasa saja kan?”
“Bukan begitu, terkadang ketika ibu pergi, kita ingin bicara tentang sesuatu.”
“Bukankah bisa bicara di rumah?”
“Atau ketika Monik ingin nitip makanan tertentu, agar ibu membelikannya, ketika ibu sedang dijalan, dan Monik lupa bilang sebelum berangkat. Ya kan?”
“Hanya masalah makanan …”
“Sudahlah Bu, diterima saja. Pada suatu waktu, pasti ibu memerlukannya.”
Rohana hanya melanjutkan makan. Makanan dengan menu yang dulu disukainya. Rendang daging dari masakan Padang, yang pedasnya selangit. Dulu dia selalu memakannya dengan lahap, ketika sedang mendapat rejeki dan dia berhasil membelinya. Tapi sekarang biasa saja. Ia mengunyahnya seperti ia mengunyah makanan sederhana. Tahu, tempe, bahkan ikan asin.
“Nambah Bu,” tawar Monik.
“Sudah kenyang. Orang tua itu perutnya sudah menyempit, tidak akan muat menerima makanan banyak, nanti bisa meletus perutku.”
“Monik, apakah di sini ada tempat atau kamar yang bisa disewakan?”
“Bukan, di kampung ini. Tapi yang murah. Hanya kamar. Satu kamar saja.”
“O, kalau di sekitar sini tidak ada Bu, agak jauh. Diujung sana. Mengapa ibu menanyakannya? Jangan bilang ibu ingin tinggal di tempat itu.”
“Tidak, untuk temanku. Besok aku mau jalan-jalan ke sana.”
Memang agak jauh, dan Rohana mendapatkannya. Tempat yang sederhana, dan bersih, tapi murah. Rohana membayarnya dengan uang yang dibawanya, kembalian dari pak Trimo si penjual nasi liwet.
Ketika sudah selesai, Rohana berhenti di sebuah pos penjagaan yang kosong, lalu menghitung sisa uangnya. Barangkali untuk perawatan Bejo masih diperlukan uang, sedangkan dia juga berjanji akan memberinya modal pada Kartinah agar mau berusaha untuk berjualan. Tidak mengemis seperti sebelumnya.
Tapi ketika ia sedang menghitung di depan pos penjagaan itu, seorang laki-laki lewat. Ia melihat uang, dan senyum licik tersungging di bibirnya. Dengan cekatan ia merebut setumpuk uang yang masih ada di pangkuan Rohana. Rohana terkejut. Tapi ia tak sudi mengalah. Ia pernah mengalaminya, dan tak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis. Tapi sekarang sudah berbeda. Matanya mencari sesuatu, dan melihat pentungan di pos penjagaan itu.